Rabu, 10 Februari 2010

Penganut Ideologi Alay?

 Lama lama ane juga muak sama tulisan alay yang GeDE k3C!l gan. Makanya ane mosting ini.

 "ENggak tahu siapa yang memulai atau dari mana asalnya. Awalnya hanya coba-coba untuk kirim SMS. Karena bagus, ya ditiru," kata Anastasia Ayudea (16) mencoba mengingat kembali dari mana ia mengenal bahasa alay (anak lebay).

Menurut siswi kelas II SMA itu, bahasa alay jenisnya bermacam-macam, tetapi kebanyakan untuk bahasa tulis. Ada yang mencampur antara huruf besar dan kecil, ada juga yang menggabungkan huruf dengan angka bahkan tanda baca.

"Kalau saya sih enggak terlalu suka dengan yang huruf angka karena tidak semua ngerti. Saya aja bacanya sulit, apalagi yang lain," kata Dea, sapaan akrabnya. Beberapa kata yang kerap ia gunakan adalah mengganti saya dengan saiia, sangat ditulis dengan sangadt.

Dea sendiri tidak begitu suka dengan teman-temannya yang terlalu alay. "Ada juga teman yang selalu ber-alay-alay, aduh lebay juga ya. Yang baca pusing. Awalnya dia pakai itu biar status di facebooknya dibaca orang, supaya eksis. Tetapi yang baca aja enggak paham, ya akhirnya malah enggak dibaca," katanya.

Bagaimana mengetahui gaya-gaya baru penulisan ala alay ini? Selain dari teman, itu bisa didapat dari internet. Di internet, ada situs yang bisa menerjemahkan kata-kata biasa menjadi bahasa alay. Bahkan, ada yang bisa diunduh dan disimpan di telefon seluler.

Ia mengaku, awalnya hanya untuk lucu-lucuan. Sebab penulisan huruf-huruf yang dicampur aduk itu tampak menarik. Lama-kelamaan kreativitas yang lain menyusul. Tak hanya dicampur dengan huruf besar kecil, tetapi juga dengan angka, tanda baca, dan berbagai simbol.

Saking seringnya, apa tidak khawatir akan terbawa saat sekolah? "Ya kalau ketahuan pakai huruf-huruf begitu mungkin nilaiku bisa dikurangi, apalagi aku jurusan bahasa. Hal-hal yang seperti itu diperhatikan sekali," katanya.

Putri Indraswari (17), siswa kelas III SMA ini kadang menggunakan bahasa alay saat corat-coret di buku hariannya atau berkomunikasi tulis dengan teman sebayanya. "Seru aja! Lucu, apalagi lagi tren juga," ujarnya. Tetapi, tidak untuk menulis pelajaran sekolah, apalagi yang nantinya diperiksa guru.

Bahasa alay yang digunakan remaja ditangkap pula oleh Irfan Arif Harmani, seorang pengajar di salah satu SMP di Kota Bandung. Bahasa itu ia ketahui dari SMS yang dikirim siswa siswinya. "Kadang bingung juga membacanya itu," ujarnya.

Namun, guru bahasa Inggris itu belum menemukan siswanya yang kebablasan menggunakan bahasa alay di tugas sekolah atau di lembar jawaban ujian. Hanya, model penulisan seperti yang ia terima di SMS banyak ia temukan di coretan-coretan di bangku atau dinding sekolah.

Meski tampaknya bahasa ini hanya berkembang untuk ragam bahasa tulis, Rasmuz, penyiar Radio Ardan Bandung punya pengalaman lain. Menurut dia, bahasa alay tidak hanya pada tulis. Ia memperhatikan perilaku-perilaku para alay ini. "Biasanya dia ngomongnya dimanja-manjain. Mereka senang sekali bergaya lucu dan imut. Menampakkan sifat kekanakannya," katanya.

Bahkan, ia memperhatikan cara berpenampilan dan bergaya anak lebay (alay) ini. "Lebay itu kan berlebihan, kadang beberapa hal dalam dirinya juga berlebihan. Misalnya dandannya, banyak remaja yang berdandan lebih dewasa dari umur yang sebenarnya. Cara-cara mereka pose di foto banyak yang menonjolkan pipinya. Pose-pose up close. Pokoknya yang menunjukkan mereka manja dan imut," katanya.

Bisakah bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan perilaku pemakainya?

Pengajar bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia Andika Dutha Bachari mengatakan, bahasa merupakan cerminan berpikir seseorang. Sebab, aktivitas berbahasa merupakan kegiatan memilih. Bukan aktivitas yang tidak sengaja. Maka melalui bahasa bisa diketahui pula ideologi seseorang.

"Tetapi, karena proses berpikir pemilihan bahasa ini dianggap lazim sehingga tidak terlihat dan tidak disadari. Manusia hidup ini berhadapan dengan banyak kode. Mereka harus memilih kode yang akan digunakan. Dan ketika salah memilih kode maka akan menimbulkan konsekuensi," katanya.

Penilaian-penilaian yang timbul sebenarnya lebih pada perilaku penuturnya. Jika perilakunya baik, bahasa yang dipakai dianggap baik. Jika bahasa itu dinilai negatif, sebenarnya yang negatif adalah perilakunya bukan bahasa itu sendiri.

"Contohnya mengapa bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa internasional. Itu juga lebih disebabkan pada perilaku penuturnya yang dinilai pintar, maju, dan modern," kata Mahmud Fasya, pengajar bahasa Indonesia UPI yang lain.

Ia memperkirakan bahasa gaul saat ini punya peluang bertahan lama. Apalagi jika penuturnya mewariskan bahasa tersebut pada generasi selanjutnya. Sehingga bukan tidak mungkin bahasa alay juga akan meninggalkan warisan sebagaimana bahasa pergaulan sebelum-sebelumnya.

Bila bahasa mencerminkan ideologi, bagi anak-anak remaja penutur bahasa alay, ideologinya apa ya. Mungkinkah mereka juga berideologi alay!? (Catur Ratna Wulandari/"PR") ***
Penulis:
Back

© 2009 - Pikiran Rakyat Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar